MUNA BARAT,KABARTIME.COM– Penggunaan alat tangkap “perre-perre” di perairan Muna Barat semakin menimbulkan keresahan di kalangan nelayan lokal. Alat tangkap yang diklaim ramah lingkungan ini justru diduga kuat menjadi penyebab utama penurunan hasil tangkapan nelayan tradisional, mengancam keberlanjutan ekosistem laut, serta berpotensi memicu konflik horizontal antar nelayan.
Edy, seorang tokoh masyarakat Desa Katela, mengungkapkan bahwa masyarakatnya paling merasakan dampak negatif dari pengoperasian perre-perre. Mereka mengeluhkan penurunan pendapatan yang sangat signifikan sejak alat tangkap tersebut aktif di wilayah mereka.
“Dulu, hasil tangkapan kami lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sekarang, jangankan untuk menabung, kadang untuk makan saja sudah susah,” ungkapnya,rabu (22/10/2025).
Keresahan ini semakin diperparah dengan trauma masyarakat terhadap penyelesaian masalah serupa di masa lalu yang dinilai tidak adil dan cenderung memihak pemilik modal. Ketidakberdayaan untuk menegur pemilik alat tangkap perre-perre juga menjadi masalah tersendiri yang membuat frustrasi.
“Kita mau menegur juga percuma, tidak ada gunanya. Malah bisa berdampak buruk bagi kita sendiri,” lanjutnya dengan nada pasrah.
Menurut Edy, Dinas Perikanan dan Kelautan sebenarnya telah mengeluarkan kesepakatan yang mengatur bahwa operasi perre-perre harus dilakukan di luar zonasi tangkap nelayan bagang dan tidak boleh beroperasi sebelum ada keputusan resmi dari pemerintah provinsi.
Namun, kesepakatan ini diduga kuat dilanggar secara sistematis karena nelayan lokal masih sering melihat perre-perre beroperasi di wilayah tangkap tradisional mereka.
“Mereka (pemilik alat tangkap perre-perre) sering sekali beroperasi dekat wilayah tangkap kami. Padahal sudah ada kesepakatan yang jelas,” keluhnya.
Ironisnya, pemerintah desa setempat dinilai kurang responsif dan terkesan tidak peduli terhadap masalah ini. Hal ini semakin menambah kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat Katela terhadap para pemangku kebijakan.
Selain dampak ekonomi yang sangat merugikan, penggunaan perre-perre juga dikhawatirkan dapat merusak ekosistem laut secara permanen. Alat tangkap ini diduga tidak selektif dan menangkap semua jenis ikan, termasuk ikan-ikan kecil yang seharusnya dibiarkan tumbuh besar untuk menjaga keberlanjutan populasi.
“Kalau semua ikan ditangkap tanpa pandang bulu, bagaimana ekosistem laut kita bisa terjaga? Ini kan bisa mengancam keberlangsungan hidup kita sebagai nelayan di masa depan,” ujarnya dengan nada khawatir.
Para nelayan berharap pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait segera turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini secara komprehensif dan berkeadilan. Mereka mendesak agar operasi perre-perre ditertibkan secara tegas dan kesepakatan yang telah dibuat dapat ditegakkan tanpa pandang bulu.
“Kami hanya ingin mencari nafkah dengan tenang dan menjaga laut kami tetap lestari untuk anak cucu kami. Kami sangat berharap pemerintah bisa membantu kami mewujudkan hal ini,” kata Edy dengan nada penuh harap.
Menanggapi keluhan tersebut, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Muna Barat, Sukarti Lykra, menyatakan bahwa pihaknya akan segera menindaklanjuti masalah ini secepat mungkin. Langkah ini diambil untuk mengantisipasi terjadinya konflik yang lebih besar di areal tangkapan, mengingat kedua belah pihak adalah warga Muna Barat yang harus dilindungi.
“Masalah ini sebenarnya sudah difasilitasi oleh kepala dinas yang lama, dan saya pikir sudah selesai. Namun, ternyata masih berlanjut dan saya baru mengetahuinya,” ujarnya.
Sukarti menambahkan bahwa pihaknya akan segera memanggil semua pihak yang bersangkutan, mulai dari pemilik perre-perre hingga perwakilan masyarakat Desa Katela, untuk mencari solusi terbaik.
“Saya ingin mendengarkan secara langsung bagaimana keluhan masyarakat Katela dan penjelasan dari pihak pemilik alat tangkap perre-perre. Nantinya, kita akan upayakan solusi yang adil dan tidak merugikan masyarakat,” tegasnya.
Solusi yang diupayakan adalah bagaimana agar alat tangkap perre-perre ini tidak beroperasi di wilayah tangkap nelayan tradisional. Setelah mendapatkan keterangan dari semua pihak, Dinas Perikanan dan Kelautan akan membuatkan perjanjian dan kesepakatan yang mengikat.
“Nanti kita panggil pihak-pihak yang terkait, kita akan bersurat ke pihak kepolisian, kepala desa, masyarakat Katela, dan perwakilan pemilik alat tangkap perre-perre. Dalam pertemuan itu harus ada kesepakatan yang jelas dan konsekuensi yang tegas jika dilanggar,” pungkas Sukarti. (red/kabartime.com).














