KABARTIME.COM- Dalam era yang semakin maju ini, kita dihadapkan pada kenyataan yang ironis, dimana semakin banyak ahli hukum, tetapi hukum semakin tidak teratur, semakin banyak ahli politik, namun politik semakin kacau, semakin banyak ahli ekonomi, tetapi kondisi ekonomi semakin tidak stabil. Fenomena ini menunjukkan adanya masalah mendasar dalam sistem sosial dan politik. Untuk itu kita perlu mereorientasi sikap dan wawasan.
Sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas, di mana kelas-kelas yang berbeda kepentingan saling berhadapan. Dari perbudakan hingga kapitalisme, setiap sistem sosial lahir, berkembang, dan akhirnya runtuh ketika kontradiksi di dalamnya tidak lagi dapat didamaikan. Kapitalisme, yang dulunya dianggap sebagai pendorong kemajuan, kini justru menjadi penghalang utama. Kaum borjuis, yang dulu revolusioner, kini terperangkap dalam sistem yang hanya melayani kepentingan segelintir orang kaya.
Kapitalisme Menciptakan Ketidakadilan Mendalam,
Produksi dilakukan oleh banyak orang, tetapi keuntungan hanya dinikmati oleh segelintir elit. Solusi dari kontradiksi ini adalah menyerahkan kendali atas ekonomi kepada rakyat pekerja melalui nasionalisasi dan demokrasi ekonomi. Demokrasi yang sejati, yang melibatkan partisipasi aktif rakyat dalam pengambilan keputusan, harus menggantikan demokrasi borjuis yang hanya melayani kaum pemilik modal.
Namun, demokrasi ini tidak akan terjadi tanpa adanya kesadaran politik yang mendalam di kalangan rakyat. Pendidikan politik yang kritis dan dialogis sangat diperlukan agar rakyat dapat memahami hak-hak mereka dan mampu menentang ketidakadilan. Kesadaran ini harus ditanamkan sejak dini dan diperkuat melalui partisipasi aktif dalam kehidupan politik dan sosial.
Sayangnya, kondisi pendidikan di Indonesia masih jauh dari ideal. Indonesia berada di posisi terbawah dalam hal rata-rata IQ di Asia Tenggara, dan ini mencerminkan krisis intelektual yang serius. Kondisi ini membuat rakyat mudah dimanipulasi oleh elit penguasa yang tidak ingin kehilangan kekuasaannya. Mereka menciptakan budaya bisu, di mana rakyat menjadi pasif dan tidak kritis terhadap realitas sosial di sekitar mereka.
Paulo Freire, seorang filsuf dari Brasil, menekankan pentingnya pendidikan kritis untuk membangkitkan kesadaran politik rakyat. Pendidikan ini harus bersifat dialogis, di mana pendidik dan peserta didik berinteraksi secara egaliter. Melalui proses ini, rakyat diajak untuk berpikir kritis, memahami struktur kekuasaan, dan menyadari potensi mereka untuk melakukan perubahan.
Rakyat Indonesia harus didorong untuk membentuk organisasi dan gerakan sosial yang memperjuangkan kepentingan mereka. Keterlibatan dalam aksi kolektif ini memberikan pengalaman praktis dalam demokrasi partisipatif dan memperkuat solidaritas di antara rakyat. Dengan meningkatnya kesadaran politik dan keterlibatan aktif dalam gerakan sosial, masyarakat dapat lebih efektif dalam menuntut akuntabilitas dari pemerintah serta menentang manipulasi dari elit penguasa.
Kini saatnya rakyat Indonesia bangkit dan melawan ketidakadilan yang terus berlangsung. Jangan biarkan kita mati dalam kebodohan. Melalui pendidikan kritis dan aksi kolektif, kita bisa menciptakan perubahan sosial yang signifikan. Rakyat harus terus berjuang untuk mendapatkan hak-hak mereka dan menciptakan masa depan yang lebih adil.
Hidup Rakyat Indonesia! Hidup Mahasiswa Indonesia!
Penulis: Rafli Tahir, Ketua Umum Forum Kajian Mahasiswa Islam Sulawesi Tenggara (FKMI SULTRA)