Oleh : Maul Gani , Penggiat Literasi/Pengurus DPP Yayasan Jalan Tengah Indonesa (Yasjati).
Program unggulan Pemerintah Makan Bergizi Gratis, (MBG) yang diluncurkan Pemerintah Republik Indonesia kembali menuai sorotan. Upaya pemerintah dalam memperbaiki standar gizi anak, membutuhkan formula dan inovasi yang baik. Apalagi anggaran yang digelontorkan sangat fantastis dan melampaui penganggaran program unggulan lain.
Berdasarkan Rancangan Draft final rancangan Undang-Undang APBN 2026, pemerintah menganggarkan Rp 286 triliunan dan menjadi peringkat pertama jauh melampaui anggaran Kementerian Pekerjaan Umum sebesar Rp 118 triliun dan Kementerian Sosial yang hanya sebesar Rp 84 triliun.
Dari angka tersebut, apresiasi pemerintah juga tetap kita berikan, yang menunjukan kepedulian tinggi terhadap program pemenuhan gizi anak dengan tujuan mencetak generasi unggul yang cerdas dan berkualitas, seperti janji Presiden RI, Jendral (Purn) Prabowo Subianto.
Sayangnya, banyak masalah yang harus menjadi bahan pertimbangan dan evaluasi dari pemerintah, diantaranya serapan anggaran. Tahun 2024 setidaknya disepakati anggaran Rp 71 triliun baru terserap Rp 17 triliun seperti diungkapkan Menteri Keuangan RI, Purbaya Yudhi Sadewa, artinya belum setengah anggaran terserap.
Makan Bergizi Gratis, juga belum merata keseluruh wilayah, masih banyak sekolah-sekolah yang belum memberlakukan program ini, padahal dengan melibatkan semua instrumen negara, seharusnya Makan Bergizi Gratis ini sudah dapat diraskan oleh seluruh anak sekolah dasar dan menengah.
Instrumen yang dimaksud adalah melihatkan TNI Polri secara optimal untuk menjangkau seluruh wilayah Nusantara, termasuk yang berada di pelosok tanah air.
Selanjutnya masalah lain yang juga menjadi perhatian, kajian harga kebutuhan pokok masing-masing daerah. Hal ini sangat mempengaruhi standar gizi dan kualitas makanan yang diberikan, seperti harga beras di daerah Jawa Barat, berbeda dengan di wilayah Timur Indonesia, termasuk juga harga lauk dan daging.
Pemerintah patut memperhatikan rasio harga porsi makanan di wilaya Barat Indonesia dengan di kawasan Timur. Badan Gizi Nasional, harus memiliki riset lengkap dan terus menjaga agar kualitas dan standar gizi merata di masing-masing wilayah Indonesia.
Kasus Kercunan Selalu Ada Bahkan Meningkat
Hampir setiap hari, kita menyaksikan kasus keracunan akibat MBG, salah satu yang terparah terjadi di daerah, yang tercatat lebih dari 500 siswa, meski kemudian pihak Badan Gizi Nasional membantah dan menyebut siswa yang keracunan MBG hanya 150 orang yang berakhir ditutupnya dapur penyedia Makan Bergizi Gratis.
Perdebatan angka anak yang keracunan bukanlah hal yang menarik diperdebatkan, setiap anak harus terjamin keselamatan dan kesehatannya selama mengkonsumsi makanan bergizi yang sudah menyerap anggaran negara yang besar ini.
Garut hanyalah salah satu kasus yang terungkap, masih banyak daerah lain yang memiliki kejadian serupa dan korbannya adalah siswa yang harusnya menikmati MBG dengan penuh rasa aman.
Mencengangkan, ditengah isu tersebut, di Sleman, beredar surat perjanjian rahasia, dimana salah satu poinnya, orang tua dipaksa menandatangani perjanjian untuk merahasiakan apabila terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti dugaan keracunan, ketidaklengkapan paket makanan, atau masalah serius lainnya,
Pihak Kedua berkomitmen untuk menjaga kerahasiaan informasi hingga Pihak Pertama menemukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah tersebut. Kedua belah pihak sepakat untuk saling berkomunikasi dan bekerja sama dengan mencari solusi terbaik demi kelangsungan program ini.
Siswa yang menjadi korban harus merahasiakan informasi? Tentu saja ini bukan solusi, sebab setiap kasus keracunan dan kekurangan paket Makan Bergizi Gratis tidak lepas dari sorotan publik. Bayangkan jika Rumah sakit juga harus ikut-ikutan menutupi pasien akibat keracunan dan segalah akibat yang ditimbulkan MBG di seluruh daerah.
Butuh Formula Gizi dan Sekaligus Kebijakan
Kelakar Menteri Keuangan yang menyebut anggaran yang tidak terserap dari Makan Bergizi Gratis akan di konversi menjadi bantuan beras, bisa dijadikan salah satu perimbangan. Bantuan langsung ke orang tua siswa dalam bentuk uang tunai atau bahan makanan dengan porsi harga yang sama, akan jauh lebih efekif.
Memulai, keterpenuhan gizi dari rumah masing-masing, orang tua diserahkan tanggung jawab untuk memenuhi standar gizi, dan tetap mendapat pengawasan dari ahli gizi yang telah ditunjuk.
Dibanding dengan melibatkan banyak pihak yang mengelolah dapur umum akan memangkas anggaran, sebab negara tidak perlu mencari pihak ketiga dari luar rumah, tetapi menjadikan orang tua menjadi mitra Makan Bergizi Gratis.
Memberikan bantuan secara langsung atau transfer dana lamgsung juga akan memangkas birokrasi pengelolaan. Setiap Ibu diberikan daftar menu harian sesuai standar gizi yang ditetapkan dan sekaligus ada sanksi jika tidak dijalankan.
Selesai tawaran solusi tersebut, hal lain yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan tetap memberikan Makan Bergizi Gratis di sekolah, tetapi sekaligus menetapkan gudang penyimpanan bahan baku yang baik dan dapur yang memiliki ahli yang memiliki kualifikasi dan setiap saat melakukan pengecekkan sebelum distribusi MBG ke seluruh wilayah
Penggunaan anggaran negara yang besar harus disertai dengan manfaat yang juga dapat diraskan langsung anak-anak Indonesia secara baik dan memiliki dampak positif seperti yang dicita-citakan Presiden RI yang menjadkan Makan Bergizi Gratis ini sebagai salah satu program terbaik dibawah kepemimpinan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.